
Namun, kini Aceh ibarat doya yang rapuh dimakan rayap waktu. Megahnya tinggal cerita di buku lama, nilai-nilainya samar dalam ingatan generasi. Padahal, sejarah Aceh bukan sekadar cerita perang dan kerajaan, tapi tentang harga diri, keberanian, dan keadilan yang diwariskan turun-temurun.
Aceh di Mata Generasi Hari Ini
Coba tanyakan pada anak muda Aceh hari ini — siapa Sultan Iskandar Muda? Apa itu Qanun Meukuta Alam? Kapan Perjanjian London yang mengkhianati Aceh terjadi? Sebagian besar akan menggeleng. Mereka lebih hafal tren TikTok ketimbang perjuangan Cut Nyak Dhien, lebih kenal selebgram ketimbang ulama besar Aceh yang dulu mengguncang dunia.
Generasi Aceh perlahan tercerabut dari akarnya. Mereka tumbuh di tanah leluhur, tapi asing terhadap sejarahnya sendiri. Ironis, ketika bangsa luar meneliti tentang Laksamana Malahayati, anak Aceh sendiri bahkan tak tahu bahwa perempuan pertama panglima perang di dunia berasal dari tanah ini.
Dari Bangsa Besar Menjadi Penonton
Aceh dulu berdiri bak doya, gagah dan berwibawa. Sultan Iskandar Muda menaklukkan negeri tetangga, mengusir Portugis, hingga mengirim utusan ke Turki Utsmani. Tapi kini, Aceh hanya menjadi penonton di pentas kebudayaan Nusantara. Simbol kebesaran seperti Alam Peudeung, Benteng Indrapatra, dan Masjid Raya hanya jadi latar swafoto, tanpa makna.
Yang lebih menyedihkan, generasi muda Aceh mulai bangga jadi peniru budaya luar, malu memakai bahasa ibu, lupa adat, tak paham syariat yang dulu diperjuangkan leluhurnya. Padahal dulu, di tengah gempuran senjata Belanda, orang Aceh lebih memilih syahid daripada tunduk tanpa harga diri.
Menghidupkan Doya yang Tertidur
Aceh harus kembali menjadi doya, tempat nilai-nilai luhur tinggal, harga diri terjaga, dan marwah bangsa berdiri. Tapi itu tak bisa hanya lewat seremoni tahunan atau pidato pejabat. Harus ada gerakan kesadaran sejarah. Dayah, kampus, komunitas, hingga organisasi pemuda mesti bergerak bersama — menulis ulang, membaca ulang, dan menyebarkan ulang sejarah Aceh dalam bentuk yang bisa diakses dan dicintai generasi muda.
Pemerintah Aceh wajib serius menjadikan sejarah Aceh sebagai pelajaran wajib di sekolah. Jangan biarkan anak Aceh tahu sejarah Eropa lebih dalam ketimbang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Museum harus hidup, cagar budaya dirawat, dan kisah pejuang Aceh diabadikan dalam media kekinian.
Penutup: Jangan Biarkan Aceh Hanya Tinggal Nama
Kalau hari ini kita abai, beberapa dekade ke depan Aceh hanya akan jadi nama geografis di peta, tanpa makna, tanpa sejarah, tanpa jati diri. Jangan biarkan generasi Aceh menjadi bangsa pelupa, yang mudah dipatahkan karena tercerabut dari akarnya.
Sudah waktunya Aceh bangkit — bukan sekadar membangun jalan dan gedung, tapi membangun doya dalam hati generasi. Menjaga warisan leluhur, menghidupkan kembali adat, syariat, dan sejarah, lalu mengajarkannya dengan cara yang membanggakan.
Aceh itu bukan sekadar tanah tempat kita lahir. Aceh adalah martabat. Aceh adalah doya. Aceh adalah amanah sejarah.
Kalau bukan kita, siapa lagi?