Aceh Maju, Generasi Bermutu, Adat dan Budaya Aceh Kuat

Aceh adalah negeri pusaka, sebuah bangsa besar yang sejak dahulu dikenal sebagai Serambi Mekkah. Dari Kesultanan Aceh Darussalam hingga perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Aceh memainkan peran penting dalam membangun peradaban Nusantara. Namun di era modern ini, Aceh menghadapi tantangan ganda: bagaimana meraih kemajuan dan kesejahteraan tanpa kehilangan adat, budaya, dan jati diri leluhur.

Kemajuan Aceh tidak boleh hanya diukur dari deretan bangunan megah, jalan mulus, atau dana otsus yang besar. Lebih penting dari itu adalah mutu generasi mudanya dan kuatnya adat serta budaya yang diwariskan turun-temurun. Tanpa itu semua, kemajuan Aceh hanya sebatas fisik tanpa ruh, hanya megah di permukaan, rapuh di dalam.


Aceh Maju Bukan Sekadar Infrastruktur

Banyak pihak sering memaknai kemajuan Aceh dari segi pembangunan fisik semata. Gedung-gedung baru dibangun, jalan diperlebar, jembatan dibangun megah, bandara diperluas. Semua itu tentu penting, tetapi bukanlah esensi kemajuan yang hakiki. Aceh maju bukan hanya soal infrastruktur, melainkan tentang bagaimana peradaban masyarakatnya berjalan beriringan dengan nilai-nilai adat, syariat, dan budaya yang selama ini menjadi penopang kehidupan.

Aceh pernah mengalami masa gemilang di era Kesultanan Aceh Darussalam. Pada masa itu, bukan hanya pelabuhan dan benteng yang dibangun, tetapi juga madrasah, dayah, dan pusat-pusat ilmu yang membentuk watak rakyat. Sebuah bangsa disebut maju bukan hanya karena bangunannya tinggi, tetapi karena akhlak rakyatnya, kecerdasan generasi mudanya, dan kuatnya nilai-nilai adat yang tetap tegak di tengah gempuran zaman.


Generasi Bermutu, Bukan Generasi Instan

Kunci utama kemajuan Aceh terletak pada mutu generasi mudanya. Sebanyak apapun dana otsus, secanggih apapun teknologi yang masuk, tak akan berarti tanpa SDM yang bermutu. Mutu generasi Aceh ditentukan oleh kualitas pendidikan, karakter moral, dan kesadaran sejarah bangsanya.

Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan generasi muda Aceh yang mulai kehilangan arah. Identitas keacehan mulai kabur. Gempuran budaya luar melalui media sosial dan budaya populer perlahan-lahan mengikis nilai adat dan syariat. Banyak anak muda lebih hafal artis Korea dibanding nama-nama pahlawan Aceh. Mereka lebih paham tren TikTok daripada sejarah Lamuri atau jejak Teuku Umar.

Inilah tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah, akademisi, ulama, dan tokoh masyarakat. Generasi bermutu tidak lahir dari sistem pendidikan yang hanya mengejar nilai UN atau rangking sekolah. Mereka lahir dari ruang-ruang diskusi, pembinaan karakter di dayah, komunitas seni tradisi, dan dialog sejarah di meunasah. Aceh butuh generasi yang cerdas intelektual, kuat iman, peka sosial, dan tahu akar sejarahnya.


Adat dan Budaya Sebagai Penyangga Jati Diri

Aceh bukan sekadar nama wilayah administratif di peta Indonesia. Aceh adalah peradaban. Di dalamnya hidup adat, budaya, bahasa, seni, dan kearifan lokal yang sudah ratusan tahun menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Pepatah Aceh berkata, adat bak poe teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang. Artinya, adat, syariat, dan hukum adat berjalan seiring membangun tatanan sosial yang harmonis.

Namun kini, banyak tradisi Aceh mulai hilang dari ingatan generasi. Panton, hikayat, tari-tarian adat, dan petuah-petuah tua mulai ditinggalkan. Ritual adat pernikahan, upacara turun tanah, hingga tradisi kenduri blang kini jarang terdengar. Jika ini dibiarkan, Aceh akan kehilangan ruh budayanya, menjadi bangsa tanpa akar.

Pemerintah Aceh bersama tokoh adat harus segera membangun program revitalisasi budaya secara masif. Bukan sekadar seremonial festival tahunan, tapi pelestarian yang terstruktur. Dayah, sekolah, kampus, dan komunitas seni tradisional perlu diberi ruang dan dukungan. Seni Seudati, Didong, Rapai Geleng, hingga sastra lisan Aceh harus kembali digaungkan.


Jalan Tengah: Maju Tanpa Kehilangan Jati Diri

Aceh harus memilih jalan tengah: membangun modernitas tanpa meninggalkan tradisi. Bukan berarti menolak kemajuan teknologi atau globalisasi, tetapi menerimanya dengan seleksi budaya yang arif. Aceh bisa membangun kota modern, tapi dengan arsitektur islami dan ornamen Aceh. Aceh bisa membuka wisata internasional, tapi dengan regulasi syariat dan penghormatan adat.

Generasi muda Aceh juga harus diajak kembali mengenal identitasnya. Program pendidikan sejarah lokal di sekolah harus diperkuat. Kisah perjuangan Sultan Iskandar Muda, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Tgk Chik di Tiro harus masuk ke dalam kurikulum wajib. Demikian pula dengan pendidikan adat di dayah dan meunasah.

Aceh bisa maju, asalkan generasi mudanya bermutu, dan adat serta budaya tetap kuat. Tidak ada bangsa besar yang maju tanpa identitas yang jelas. Jepang tetap maju tanpa meninggalkan adatnya. Turki bisa modern tanpa kehilangan sejarahnya. Malaysia tumbuh ekonominya tanpa melepaskan budaya Melayu-nya. Aceh pun bisa.



Aceh hari ini dihadapkan pada persimpangan. Jalan pertama, mengejar kemajuan fisik semata dan melupakan adat serta budaya. Jalan kedua, mempertahankan adat dan budaya tapi menolak kemajuan. Atau jalan ketiga, membangun kemajuan dengan menjaga warisan adat, budaya, dan syariat sebagai ruhnya.

Sebagai anak bangsa Aceh, saya mengajak seluruh elemen masyarakat, dari ulama, akademisi, mahasiswa, hingga aparatur pemerintahan, untuk memilih jalan ketiga. Aceh maju, generasi bermutu, adat dan budaya kuat. Inilah fondasi bagi Aceh yang beradab, sejahtera, dan dihormati bangsa lain.

Sejarah telah mencatat Aceh sebagai bangsa besar. Kini, saatnya generasi kita menulis babak baru peradaban Aceh yang modern tanpa kehilangan ruh adat dan syariat. Aceh bisa, asal kita satu tekad.


Azhari
Ketua ABMA Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *