BUMI ACEH YANG BAJAK

Aceh, Tanah Warisan Syuhada
Aceh, negeri pusaka yang selama ratusan tahun berdiri tegak di bawah panji keislaman dan kemerdekaan, hari ini semakin kehilangan ruhnya. Negeri yang dulunya dikenal dengan keberanian para ulama, pemimpin adat, dan rakyatnya yang tak gentar melawan penjajahan, kini terlihat lunglai di hadapan kekuasaan yang justru lahir dari perjanjian damai.
Di balik gelar “Serambi Mekkah”, di balik jargon “Aceh Istimewa”, sesungguhnya bumi Aceh hari ini sedang dibajak. Bukan lagi oleh meriam Belanda atau pasukan asing, tetapi oleh tangan-tangan anak negeri sendiri yang mabuk kekuasaan dan rakus pada harta dunia.

Dibajak Oleh Kuasa Oligarki Lokal
Sejak MoU Helsinki 2005 diteken, Aceh mendapatkan otonomi khusus yang seharusnya menjadi jalan bagi kemakmuran rakyatnya. Dengan dana otsus triliunan rupiah setiap tahunnya, banyak pihak berharap Aceh segera bangkit dari kemiskinan, konflik, dan keterbelakangan.
Namun harapan itu kini tinggal harapan. Yang terjadi justru sebaliknya. Aceh berubah menjadi arena bisnis kekuasaan. Segelintir elit politik dan mantan oknum kombatan mendominasi semua lini. Proyek pembangunan dikuasai kroni, dana desa menjadi bancakan, dan izin-izin tambang serta perkebunan berpindah tangan ke tangan-tangan yang jauh dari kepentingan rakyat kecil.
Tanah-tanah adat dan lahan produktif dirampas pelan-pelan, diatasnamakan investasi demi kemajuan, tapi hasilnya tak pernah benar-benar mengalir ke masyarakat. Petani merugi, nelayan tak berdaya, hutan-hutan habis digunduli. Nama Aceh memang harum dalam laporan statistik nasional soal dana otsus dan proyek strategis, tapi di akar rumput, kemiskinan tetap menjadi wajah dominan rakyat Aceh.

Bajakan Atas Nama Syariat
Lebih memilukan, syariat Islam yang menjadi kebanggaan Aceh justru dijadikan alat politik dan tameng moral bagi elit penguasa. Qanun-qanun syariat disusun bukan untuk menata keadilan sosial, melainkan untuk sekadar menjaga citra politik di hadapan Jakarta dan khalayak internasional.
Faktanya, Aceh hari ini adalah provinsi dengan kemiskinan tertinggi di Sumatera, angka pengangguran terbuka yang mengkhawatirkan, serta ketimpangan sosial yang lebar. Padahal, syariat Islam mengajarkan prinsip keadilan, pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan pelarangan monopoli kekuasaan.
Namun yang terjadi, syariat hanya ditegakkan untuk rakyat kecil, sementara para elit melenggang bebas, menyiasati aturan, bahkan menjadikan agama sekadar slogan di spanduk dan baliho. Lalu siapa yang sesungguhnya membajak Aceh? Bukan asing, bukan Belanda, melainkan mereka yang mengaku anak negeri.

Generasi Muda: Pewaris Tanah yang Terabaikan
Di tengah situasi itu, generasi muda Aceh terperosok dalam ketidakberdayaan yang dirancang sistematis. Akses politik dipersempit, ruang diskusi publik dibatasi, dan aktivis kampus ditekan. Mahasiswa yang dulu menjadi motor perubahan kini sibuk membuat konten hiburan, memburu viral, dan mengabaikan nasib bangsanya sendiri.
Sebagian pemuda hanya menjadi tim sukses musiman saat pemilu. Setelah itu, mereka kembali ke sudut-sudut kampung, kehilangan harapan akan masa depan. Aceh yang dulunya melahirkan pejuang-pejuang besar kini kesulitan menemukan satu figur pemimpin muda yang berani lantang menyuarakan hak-hak rakyat.
Jika situasi ini dibiarkan, Aceh akan sepenuhnya kehilangan generasi pelanjut yang punya keberanian moral dan idealisme perjuangan. Bumi Aceh akan menjadi tanah warisan tanpa ahli waris.

Tanah Aceh Dikeruk, Hasilnya Menguap
Lihatlah, betapa banyak izin tambang di Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, hingga Nagan Raya yang kini dikuasai korporasi besar. Hutan lindung ditebangi, sungai-sungai tercemar, dan desa-desa adat terpinggirkan. Rakyat Aceh tak punya cukup kekuatan hukum maupun politik untuk menolak karena semua jalur sudah dikuasai.
Para pembajak modern ini bertampang lokal, berbaju adat, berbahasa Aceh, tetapi orientasi mereka adalah mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan nasib anak cucu Aceh ke depan. Dana kompensasi tambang kecil nilainya dibanding kerusakan yang ditinggalkan.
Pemerintah Aceh, alih-alih bertindak tegas, justru sibuk menata jabatan, membagi proyek, dan sibuk dalam konflik internal kekuasaan. Setiap periode pergantian pemimpin hanya berganti wajah, tapi watak kekuasaan tetap sama: membajak tanah Aceh tanpa peduli nasib rakyatnya.

Di Mana Ulama dan Intelektual Aceh?
Pertanyaan berikutnya, di mana suara ulama-ulama besar Aceh, di mana para cendekiawan kampus, para pemimpin dayah, dan intelektual independen? Sebagian memilih diam, sebagian sibuk mengurusi lembaga dan proyek, sebagian terperangkap dalam pusaran politik praktis.
Hampir tak ada lagi suara lantang dari dayah-dayah seperti dulu, yang berani melawan ketidakadilan penguasa. Padahal sejarah mencatat, kekuatan rakyat Aceh sejak zaman Sultan Iskandar Muda hingga perang Aceh-Belanda tak lepas dari peran ulama dan cendekiawan. Kini peran itu seperti hilang ditelan ambisi pribadi.

Menyusun Jalan Pulang: Aceh Harus Direbut Kembali
Aceh tidak akan pernah pulih bila rakyatnya sendiri membiarkan pembajakan ini terus berlangsung. Harus ada gerakan kolektif rakyat Aceh untuk:
Mendesak transparansi dana otsus dan anggaran pemerintah daerah.
Mendorong revisi qanun syariat yang lebih berpihak ke kemaslahatan rakyat, bukan sekadar simbol moralitas semu.
Menghentikan praktik mafia perizinan tambang dan perkebunan yang merugikan rakyat.
Menghidupkan kembali forum-forum rakyat independen di tiap desa, mukim, dan dayah.
Membangun kekuatan generasi muda yang berani bersikap di luar sistem politik busuk.
Mengembalikan peran dayah, ulama, dan intelektual Aceh sebagai penjaga moral rakyat.
Tanpa itu, Aceh hanya akan menjadi tanah pusaka yang terus dibajak, dengan rakyat sebagai penonton, dan elit terus berpesta di atas penderitaan negeri ini.

Penutup: Jangan Biarkan Aceh Menjadi Negeri Tanpa Warisan
Aceh adalah negeri para syuhada, tanah penuh darah dan air mata. Jangan sampai warisan itu hancur di tangan kita sendiri. Karena pembajakan modern lebih berbahaya daripada penjajahan bersenjata. Ia tak terlihat, tapi menggerogoti hingga akar.
Saatnya rakyat Aceh kembali menyadari, bahwa yang paling berbahaya bukan musuh di luar sana, tetapi para pembajak di dalam pagar.
Dan bila kita tetap diam, maka sejarah akan mencatat bahwa kita semua bagian dari dosa kolektif itu.

Bireuen, Juli 2025
Azhari
Ketua  UMUM ABMA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *