Hancurnya Rumah tangga dan Ancaman Ketahanan Keharmonisan di Era Digital

Era digital telah menghadirkan banyak kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Interaksi sosial, bisnis, pendidikan, hingga hiburan kini hanya berjarak sejauh sentuhan layar. Namun, di balik kemudahan tersebut, era digital juga membawa ancaman terselubung terhadap ketahanan rumah tangga.
Perkembangan teknologi informasi dan media sosial secara tak langsung merubah pola relasi antar pasangan. Cemburu virtual, godaan digital, eksposur berlebih terhadap standar kebahagiaan semu di media sosial, hingga krisis kepercayaan menjadi ujian yang tak bisa dipandang enteng. Ketahanan rumah tangga hari ini, tak hanya soal finansial dan komunikasi verbal, tetapi juga kemampuan menjaga keharmonisan di tengah derasnya arus informasi dan interaksi digital.
Era Digital: Pisau Bermata Dua Bagi Kehidupan Keluarga
Internet dan media sosial ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, dapat mempererat hubungan pasangan yang berjauhan atau memperkaya wawasan rumah tangga. Namun di sisi lain, dapat menjadi sumber perselisihan, ketidakpercayaan, bahkan keretakan.
Godaan digital hadir dalam berbagai bentuk — mulai dari konten hiburan yang menanamkan standar romantisme semu, aplikasi pertemanan yang bisa disalahgunakan, hingga kebiasaan membanding-bandingkan pasangan dengan standar orang lain di dunia maya.
Banyak pasangan yang akhirnya terjebak dalam “virtual infidelity”, yaitu perselingkuhan emosional atau visual di dunia maya. Tanpa disadari, percakapan intens dengan lawan jenis, saling berbagi masalah pribadi, atau sekadar saling mengagumi di balik layar bisa menjadi awal dari runtuhnya kepercayaan dalam rumah tangga.
Ketahanan Keluarga Diuji di Ruang Digital
Ketahanan keluarga di era digital bukan hanya soal menghadapi masalah ekonomi dan sosial, tetapi juga kemampuan mengendalikan diri dalam berinteraksi di ruang maya. Menjaga privasi rumah tangga, membatasi konsumsi konten berbahaya, dan menyaring informasi menjadi kewajiban moral dan etika pasangan suami istri.
Kasus perceraian akibat perselingkuhan yang berawal dari media sosial, perdebatan akibat status atau unggahan di Facebook dan Instagram, hingga kecemburuan karena interaksi di ruang virtual, menjadi fenomena sosial yang kian sering terjadi.
Laporan dari berbagai lembaga konseling keluarga menyebutkan, dalam beberapa tahun terakhir, perselisihan yang dipicu media sosial mengalami tren peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan rumah tangga hari ini menghadapi ancaman baru yang sifatnya nonfisik, tetapi merusak secara psikologis dan emosional.
Standar Kebahagiaan Semu di Media Sosial
Salah satu ancaman besar lainnya adalah hadirnya standar kebahagiaan semu di media sosial. Unggahan tentang liburan mewah, hadiah mahal, dinner romantis, atau foto keluarga harmonis sering kali membuat pasangan lain merasa kurang, kecewa, bahkan membandingkan kondisi rumah tangga mereka.
Padahal, apa yang ditampilkan di media sosial sering kali hanya fragmen-fragmen indah yang sengaja dipilih, bukan gambaran utuh dari realitas. Sayangnya, banyak pasangan yang terjebak dalam “illusion of perfection” hingga lupa mensyukuri kebahagiaan kecil yang nyata di depan mata.
Kondisi ini kerap memicu perdebatan, ekspektasi berlebihan terhadap pasangan, hingga rasa frustrasi yang berdampak pada keharmonisan rumah tangga.
Peran Literasi Digital dalam Ketahanan Rumah Tangga
Di tengah kondisi ini, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak bagi setiap pasangan. Bukan hanya sekadar mampu menggunakan teknologi, tetapi juga bijak dalam memanfaatkannya.
Setiap pasangan perlu memahami batas etika bermedia sosial, menjaga privasi keluarga, mengendalikan diri dari interaksi berlebihan dengan lawan jenis di ruang maya, serta memilah informasi yang dikonsumsi.
Dialog tentang penggunaan media sosial dalam keluarga harus dibuka secara jujur dan dewasa. Pasangan perlu saling sepakat tentang aturan-aturan moral bermedia sosial, batasan-batasan komunikasi virtual, dan kesepakatan menjaga rahasia serta harga diri rumah tangga di ruang publik digital.
Agama dan Nilai Tradisi Sebagai Perisai
Di tengah derasnya arus digital, agama dan nilai-nilai tradisi tetap menjadi benteng ketahanan rumah tangga yang kuat. Nilai kejujuran, tanggung jawab, amanah, dan saling menghargai merupakan pondasi abadi yang tak boleh terkikis oleh zaman.
Islam, misalnya, sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan, menutup aib keluarga, dan larangan keras terhadap zina hati maupun zina mata. Hal ini relevan diterapkan dalam konteks dunia digital, di mana potensi pelanggaran moral begitu terbuka.
Kearifan lokal dan adat istiadat juga memiliki nilai-nilai luhur dalam menjaga relasi suami istri. Tradisi seperti peutua adat di Aceh yang menasihati pasangan pengantin baru, atau budaya musyawarah keluarga saat terjadi masalah, perlu direvitalisasi dalam konteks kekinian.
Kesimpulan: Saatnya Pasangan Melek Digital, Bukan Hanya Melek Teknologi
Ujian rumah tangga di era digital memang berat, tapi bukan mustahil untuk dihadapi. Kunci utamanya ada pada komunikasi terbuka, komitmen bersama, dan literasi digital yang kuat.
Pasangan suami istri harus bisa menjadi sahabat, pengingat, dan pengontrol satu sama lain dalam bermedia sosial. Jangan sampai ruang digital yang seharusnya jadi sarana kemajuan justru menjadi ruang perusak hubungan.
Sudah saatnya ketahanan rumah tangga tidak hanya diukur dari kekuatan ekonomi dan jumlah anak, tetapi juga dari ketangguhan moral, kemampuan bermedia digital yang sehat, serta komitmen menjaga keharmonisan dalam dunia nyata maupun maya.
Karena di era ini, ancaman rumah tangga tidak selalu hadir dalam wujud orang ketiga yang nyata, melainkan bisa berupa sinyal WiFi dan notifikasi chat yang tak kenal waktu.

Penulis

Azhari Ketua ABMA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *