Jangan Tinggalkan Nanggroe, Nak: Wasiat Mak Untuk Anak-Anak Aceh

Di dalam rumah-rumah sederhana di pelosok gampong Aceh, di bawah sinar lampu teplok atau remang bulan purnama, sering terdengar pesan yang turun-temurun disampaikan para orang tua kepada anak-anaknya. Bukan tentang warisan emas atau harta benda, melainkan tentang tanah kelahiran, tentang negeri pusaka bernama Aceh. Salah satu wasiat paling sakral yang sering diucapkan oleh seorang ibu di Aceh adalah:

“Jangan tinggalkan Nanggroe ini, nak. Bek gata seugalom meninggal.”
(Jangan kau tinggalkan negeri ini, nak, sampai ajal menjemput.)

Pesan itu bukan sekadar kalimat, melainkan wasiat hidup yang mengandung nilai cinta, tanggung jawab, dan amanah terhadap tanah kelahiran. Aceh bagi seorang ibu bukan hanya kampung halaman, tapi tempat ruh dan harga diri bersandar. Karena dalam adat Aceh, tanah leluhur bukan sekadar tempat lahir dan tinggal — ia adalah identitas, kehormatan, dan kemuliaan.

Ketika Tanah Air Bukan Sekadar Tempat Tinggal

Dalam falsafah adat Aceh, tanah air diibaratkan sebagai ibu kedua setelah ibu kandung. Meninggalkannya berarti merobek ikatan batin dengan akar kehidupan. Di masa lalu, para pejuang Aceh rela syahid di medan perang mempertahankan negeri ini dari penjajah karena keyakinan bahwa mati di tanah sendiri lebih mulia daripada hidup dalam kemewahan di negeri orang.

Dahulu, anak-anak Aceh yang merantau ke rantau-rantau jauh selalu diminta berjanji untuk kembali. Pulang ketika lebaran, ketika orang tua tua renta menunggu di tangga rumah, atau ketika tanah kelahiran memanggil. Tidak ada kebanggaan yang lebih besar bagi orang tua Aceh selain melihat anaknya sukses di perantauan lalu kembali membangun negeri, bukan menjadi orang asing di negeri orang.

Kegelisahan Para Orang Tua di Era Sekarang

Namun, zaman kini berbeda. Banyak anak-anak Aceh lebih bangga tinggal di luar negeri, bekerja di kota-kota besar, lalu perlahan lupa kampung halaman. Ada yang tidak sempat kembali ketika orang tua sakit, bahkan ketika jenazah dimandikan. Ada pula yang enggan pulang karena malu dianggap kampungan atau karena sudah terbiasa dengan kehidupan modern yang gemerlap.

Inilah kegelisahan para orang tua Aceh hari ini. Wasiat itu mulai terdengar seperti bisikan di tengah riuhnya dunia digital. Tanah Aceh yang dulu dibela hingga titik darah penghabisan, kini perlahan kehilangan putra-putri terbaiknya. Bukan karena perang, tapi karena godaan kenyamanan di luar sana.

Makna Wasiat Itu Sesungguhnya

Wasiat “jangan tinggalkan Nanggroe” bukan bermakna anak-anak Aceh harus terus menetap di sini tanpa melihat dunia luar. Merantau itu baik, menuntut ilmu ke negeri jauh itu dianjurkan. Tapi jangan pernah lupa jalan pulang. Jangan pernah hilang rasa memiliki. Jangan menjadi anak Aceh hanya di nama KTP, tapi asing di hati.

Aceh butuh generasi yang kembali. Bukan hanya tubuhnya, tapi pikirannya, ilmunya, dan hatinya. Negeri ini masih menyimpan luka dan cita-cita yang belum tuntas. Masih banyak anak yatim korban konflik, masih banyak tanah ulayat yang terbengkalai, masih banyak adat yang mulai dilupakan.

Makna wasiat itu adalah agar anak-anak Aceh tidak pernah mencabut akarnya. Boleh tinggi terbang, tapi jangan lupa kembali. Boleh pandai bicara dalam bahasa dunia, tapi jangan lupa bahasa ibu. Boleh memakai jas modern, tapi jangan malu memakai kupiah meukeutop. Boleh minum kopi di kafe luar negeri, tapi jangan lupa rasa kopi Ulee Kareng.

Aceh Butuh Anak-Anaknya Sendiri

Kita tidak bisa berharap orang luar membangun Aceh. Orang luar hanya datang untuk mengambil apa yang mereka butuhkan. Pembangunan Aceh, ekonomi Aceh, pendidikan Aceh, adat Aceh — hanya bisa bangkit jika anak-anaknya sendiri yang peduli.

Karena itu, pesan para ibu di gampong-gampong Aceh itu harus kita dengarkan kembali. Jangan sekadar dianggap petuah orang tua yang kolot. Itu adalah panggilan jiwa. Wasiat yang lahir dari cinta paling tulus seorang ibu kepada anaknya dan kepada negeri yang melahirkannya.

Wasiat yang Tidak Boleh Hilang

Di tengah hiruk-pikuk modernitas, jangan sampai kita kehilangan pesan suci itu. Wasiat mak untuk anak-anak Aceh harus tetap hidup. Kita boleh membangun karier di luar, boleh belajar ke manapun, tapi suatu saat kembalilah, nak. Aceh menunggu.

Seorang ibu di Aceh takkan tenang di alam sana sebelum anaknya kembali ke tanah kelahiran. Karena bagi mereka, anak Aceh tanpa tanah Aceh seperti daun tanpa ranting, seperti air tanpa hulu.

Jangan pernah jadi asing di negeri sendiri.
Tanah ini, bangsa ini, adat ini — adalah warisan yang harus kita jaga sampai ajal menjemput.

Azhari S.Sy.M.H


Akademisi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *