
Namun, pertanyaannya: mengapa khazanah keilmuan setua dan sepenting ini justru nyaris tak dikenal oleh generasi Aceh sendiri?
Warisan Ilmu yang Terpendam
Dalam dunia akademik, literasi tentang obat dan kesehatan di era kerajaan biasanya dianggap milik peradaban Cina, India, Persia, atau Arab. Namun, Aceh melalui Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdussalam, Syekh Ismail al-Asyi, Syekh Abbas Kutakarang, hingga penulis tak dikenal “Afrahu Tabib” – telah menempatkan Aceh sejajar dengan peradaban besar itu, khususnya dalam bidang pengobatan dan perawatan kesehatan holistik.
Kelima kitab tersebut – Bustanus Salatin, Tambeh Tujoh, Afrahu Tabib, Tajul Muluk, dan Kitaburrahmah fit Thibb wal Hikmah – tidak hanya menjadi bukti kecanggihan literasi Aceh masa silam, namun juga merefleksikan upaya sistematis dalam memahami tubuh manusia, penyakit, hingga fungsi-fungsi metabolisme tubuh dengan pendekatan yang harmonis antara ilmu, agama, dan alam.
Sayangnya, kebanggaan ini seakan hanya hidup di ruang kecil para peneliti naskah kuno dan aktivis sejarah. Ia tidak (atau belum) menjadi bagian dari sistem pendidikan, kebijakan kesehatan, maupun narasi identitas Aceh hari ini.
Menggugat Istilah “Obat Tradisional”
T.A. Sakti secara tegas menyebut bahwa istilah “obat tradisional” mengandung bias dan diskriminasi terhadap pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun. Ia mengusulkan istilah “obat herbal” atau bahkan “obat asli Aceh” sebagai sebutan yang lebih adil dan membanggakan.
Benar adanya, ketika “tradisional” disematkan, ia kerap dianggap inferior dibanding “medis modern”. Padahal, banyak negara maju hari ini mengadopsi prinsip-prinsip pengobatan herbal dan natural yang justru berkembang dari sistem pengobatan klasik seperti Ayurveda di India, TCM (Traditional Chinese Medicine) di Tiongkok, atau Jamu di Indonesia.
Mengapa Aceh tidak mengambil langkah serupa dengan menjadikan warisan Tambeh Tujoh atau Kitaburrahmah sebagai basis riset, bahkan pengembangan industri herbal yang bermutu dan legal?
Antara Manuskrip dan Apotek Kehidupan
Dari Tambeh Tujoh, kita belajar bahwa konsep kesehatan tidak hanya fisik, tapi juga pola hidup. Ia mengidentifikasi penyakit berasal dari pola makan tidak teratur serta ketidakseimbangan dalam tubuh manusia. Ini selaras dengan pandangan medis holistik masa kini, yang mengaitkan penyakit dengan metabolisme dan gaya hidup.
Konsep tentang empat kekuatan tubuh: Jaziyah, Maas’ikkamat, Hadhimat, dan Dafaat mengingatkan kita pada teori humor dalam kedokteran Yunani dan Persia, yang menjadi dasar pengobatan dunia selama ratusan tahun.
Sementara Kitaburrahmah bahkan menyebut istilah-istilah penyakit dan tanaman dalam dua bahasa – Melayu dan Aceh – menandakan sistematika ilmu yang tertata, tidak kalah dari ensiklopedia medis modern.
Sayangnya, ilmu ini masih tersembunyi di balik naskah-naskah tua yang hanya dibaca oleh segelintir orang. Potensinya belum masuk ke laboratorium kampus, belum menjadi kurikulum pendidikan vokasi, dan belum diangkat dalam dunia praktik medis atau industri farmasi herbal lokal.
Kampus dan Pemerintah: Mau ke Mana?
Langkah Universitas Teuku Umar (UTU) yang mendirikan Kebun Obat Herbal patut diapresiasi. Namun langkah ini masih sporadis. Sementara Taman Obat Tradisional di Universitas Syiah Kuala (USK) bahkan dikabarkan punah karena kemarau panjang.
Di sinilah seharusnya pemerintah Aceh, kampus-kampus besar, serta Lembaga Riset Daerah mengambil peran aktif: mengkaji, merevitalisasi, dan menginstitusionalisasi warisan pengobatan Kesultanan Aceh sebagai ilmu hidup, bukan sekadar jejak sejarah.
Kementerian Kesehatan di Aceh, bahkan Dinas Kebudayaan dan Pendidikan, bisa menjadikan naskah-naskah ini sebagai sumber belajar dan penelitian, juga sebagai fondasi pengembangan kurikulum muatan lokal kesehatan dan budaya.
Mendorong Ekonomi Herbal Aceh
Potensi ekonomi dari pengembangan tanaman obat dan produk herbal sangat besar. Bila warisan kitab Tajul Muluk atau Kitaburrahmah bisa dibaca ulang, disandingkan dengan riset ilmiah modern, maka bukan tidak mungkin Aceh akan memiliki merek dagang herbal sendiri – yang bukan hanya berbasis budaya, tapi juga bisa menembus pasar nasional bahkan internasional.
Langkah-langkah transliterasi dan penerbitan ulang oleh LSAMA dan Syiah Kuala University Press perlu didukung dan disebarluaskan, tidak hanya untuk konsumsi akademik, tetapi sebagai bahan edukasi publik, buku pelajaran, hingga produk kreatif anak muda Aceh.
Menjaga Pusaka, Menjaga Identitas
Kita tidak hanya menjaga khazanah obat, tapi juga menjaga identitas kita sendiri sebagai bangsa Aceh yang cerdas, berilmu, dan terhubung dengan alam dan spiritualitas. Dalam konteks itulah warisan Afrahu Tabib atau Tambeh Tujoh bukan sekadar kitab, tetapi jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Kini, saatnya kita bertanya: Akankah kita membiarkan manuskrip-manuskrip itu berdebu dalam rak atau museum? Atau kita hidupkan kembali warisan itu menjadi inspirasi, inovasi, dan identitas baru Aceh di dunia kesehatan?
Warisan pengobatan Aceh bukan nostalgia. Ia adalah masa depan. Mewujudkannya kembali dalam bentuk riset, pendidikan, dan industri adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap para ulama, tabib, dan sultan yang telah mencintai rakyatnya melalui ilmu dan pengobatan. Aceh bisa memimpin dalam gerakan “pengobatan berbasis warisan budaya” jika kita mulai hari ini, bukan esok.
“Segala penyakit ada obatnya, kecuali mati dan tua.”
— Hadis Nabi Muhammad SAW, dikutip dalam Tambeh Tujoh