“Sejarah Bangsa Aceh yang Hilang di Mata Generasi”

Aceh — negeri yang dulu dijuluki Serambi Mekkah, tanah para raja, ulama besar, pejuang, dan pahlawan syahid — kini perlahan kehilangan bayangannya di mata anak cucu bangsa. Di balik gegap gempita pembangunan dan otonomi khusus pasca damai, kita nyaris tidak lagi mendengar nama-nama seperti Sultan Iskandar Muda, Laksamana Malahayati, Tgk. Raja Muda Teunom, atau Cut Nyak Dhien disematkan dalam percakapan anak-anak muda Aceh hari ini.

Bangsa yang kehilangan sejarahnya, ibarat pohon tanpa akar — kokoh sesaat, lalu tumbang diterjang waktu. Aceh, yang dulu dicatat sebagai kerajaan Islam besar di Asia Tenggara, kini sejarahnya tertimbun debu modernitas dan euforia media sosial.

Aceh Pernah Berdiri Sebagai Bangsa

Sejarah mencatat, Aceh bukan sekadar sebuah wilayah administratif dalam bingkai NKRI, melainkan sebuah bangsa besar yang memiliki kedaulatan, struktur pemerintahan, hukum syariat, sistem peradilan, hingga diplomasi internasional. Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17 membangun Aceh menjadi kekuatan maritim dan politik yang disegani oleh Portugis, Belanda, Inggris, bahkan Kesultanan Utsmaniyah di Turki.

Bandar Aceh Darussalam menjadi pelabuhan penting dunia. Kitab-kitab fikih dan tafsir ditulis ulama-ulama Aceh, seperti Syekh Abdurrauf Singkil, menjadi rujukan di Nusantara. Tapi kini, kisah-kisah itu hanya menjadi catatan di lembaran buku tua yang nyaris tak pernah disentuh generasi muda.

Generasi yang Kian Terputus

Tragisnya, banyak anak muda Aceh lebih hafal tanggal lahir para selebriti ketimbang hari wafat Cut Meutia. Mereka lebih paham tentang tren TikTok daripada tentang Perjanjian London 1824 yang mengkhianati Aceh, atau tentang perjuangan Cut Nyak Dhien yang memilih hidup di pengasingan ketimbang tunduk pada kolonial.

Lahirnya generasi yang terputus dari sejarah membuat nilai-nilai kemandirian, keberanian, serta keteguhan agama dan adat Aceh makin pudar. Padahal, sejarah bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan cermin jati diri.

Aceh pernah menjadi bangsa yang mengatur sistem pemerintahan berbasis syariat Islam, dengan Qanun Meukuta Alam sebagai konstitusi tertulis pertama di Nusantara. Sayang, tak banyak generasi muda yang mengenal warisan intelektual dan politik ini.

Dosa Kolektif Elite dan Pemerintah

Kondisi ini tak sepenuhnya salah anak muda. Negara, khususnya Pemerintah Aceh dan para elitnya, turut bersalah karena tak pernah serius menanamkan pendidikan sejarah Aceh secara sistematis. Warisan sejarah dijadikan proyek seremoni musiman, bukan fondasi karakter generasi. Museum-museum dibiarkan kosong, cagar budaya tak terurus, dan buku sejarah lokal sulit ditemukan di sekolah-sekolah.

Program digitalisasi sejarah pun nyaris tak tersentuh, kalah oleh konten viral tak bermakna. Para ulama dan budayawan tua Aceh satu per satu wafat, membawa kisah yang seharusnya diwariskan. Yang tersisa hanya fragmen-fragmen di lisan, tanpa ada generasi penerus yang mengabadikannya.

Saatnya Menghidupkan Sejarah Aceh

Aceh membutuhkan gerakan serius untuk merebut kembali sejarahnya. Gerakan literasi sejarah, dokumentasi lisan, festival budaya berbasis nilai perjuangan, hingga digitalisasi manuskrip Aceh perlu menjadi prioritas.

Pemerintah Aceh wajib menghadirkan kurikulum sejarah Aceh sebagai muatan lokal wajib di setiap sekolah dan dayah. Kampus-kampus di Aceh harus mendorong kajian tentang Kesultanan Aceh, perang kolonial, hingga peran ulama Aceh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Para tokoh muda Aceh pun mesti bergerak — menulis, berbicara, dan menghidupkan kembali narasi tentang siapa sebenarnya bangsa Aceh. Sebab sejarah bukan milik masa lalu, melainkan kunci menakar masa depan.

Penutup: Menolak Lupa, Merawat Jati Diri

Jika bangsa Aceh tak segera merebut dan menghidupkan kembali sejarahnya, kita akan menjadi bangsa yang tak punya akar. Generasi yang tercerabut dari asal-usulnya, mudah dipatahkan, mudah dibeli, dan mudah dipecah belah.

Aceh yang damai hari ini hanya bisa lestari jika jati dirinya tetap terjaga. Dan jati diri itu hanya bisa hidup melalui sejarah. Sudah saatnya kita berhenti sibuk menjadi penonton dan mulai menjadi pelaku pelestari sejarah.

Jangan biarkan Aceh hanya tinggal nama. Mari rawat sejarahnya, lestari adatnya, hidupkan kembali semangat bangsanya.

Aceh bukan tanah kosong — Aceh adalah bangsa besar yang sementara tertidur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *